Fst.umsida.ac.id –Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) menggelar yudisium dengan semangat baru untuk menyiapkan lulusan yang siap bersaing di era global. Acara yang diikuti oleh 235 mahasiswa ini mengusung tema “Membangun Masa Depan Melalui Solusi Rekayasa yang Inovatif dan Berkelanjutan.” pada Jumat (31/10/2025).
Dalam kegiatan tersebut, hadir sebagai pembicara utama Ir R Pius X Rooswan Happmono ST MT, Ketua Komite Pengembangan Organisasi Wilayah dan Cabang – Pengurus Pusat Persatuan Insinyur Indonesia. Melalui pemaparan materinya berjudul “Peran Insinyur Indonesia di Era Transisi Energi dan Hilirisasi Industri,” Pius menekankan pentingnya peran generasi muda teknik dalam mendukung transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Baca Juga: Yudisium Fakultas Sains dan Teknologi Umsida 2025 Kukuhkan 235 Lulusan Siap Hadapi Dunia Profesional
Insinyur Harus Menjaga Etika, Profesionalisme, dan Inovasi

Dalam sambutannya, Ir Pius menyinggung kisah kegagalan Jembatan Quebec di Kanada pada tahun 1907 sebagai refleksi penting bagi dunia teknik. Tragedi tersebut menewaskan 75 pekerja akibat kesalahan perhitungan dan lemahnya pengawasan konstruksi. Dari kejadian itu, lahir organisasi insinyur profesional di Kanada yang menekankan pentingnya etika dan tanggung jawab profesi.
“Seorang insinyur tidak hanya dituntut mampu menghitung dan merancang, tetapi juga harus memiliki integritas dan menjunjung tinggi kode etik profesi. Etika, pengetahuan, dan pengalaman harus berjalan beriringan,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa profesi insinyur memiliki tanggung jawab besar dalam setiap pembangunan yang menyangkut keselamatan publik. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, integritas menjadi fondasi utama agar inovasi tidak hanya canggih, tetapi juga bermanfaat dan aman bagi masyarakat.
UU Keinsinyuran dan Tantangan Kompetisi Global
Lebih lanjut, Ir Pius mengulas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2019 tentang Keinsinyuran. Regulasi tersebut menjadi landasan hukum bagi setiap insinyur yang berpraktik di Indonesia untuk memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang dikeluarkan oleh PII.
“STRI bukan sekadar formalitas, tetapi bukti pengakuan profesional. Tanpa STRI, seorang insinyur tidak berhak melakukan praktik keinsinyuran secara mandiri,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kondisi jumlah insinyur di Indonesia yang masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Berdasarkan data yang disampaikan, Indonesia hanya memiliki sekitar 3.000 insinyur per satu juta penduduk, sementara Korea Selatan mencapai 25.000 insinyur per satu juta penduduk. Angka ini menunjukkan pentingnya peningkatan kualitas dan jumlah tenaga profesional di bidang teknik.
“Tanpa nilai tambah, Indonesia hanya akan menjadi pasar. Kita harus mampu menciptakan inovasi, bukan sekadar menjadi pengguna teknologi,” tambahnya.
PII dan Sertifikasi Internasional untuk Insinyur Indonesia

Dalam paparannya, Ir Pius menjelaskan bahwa Persatuan Insinyur Indonesia (PII) kini telah bertransformasi menjadi lembaga yang diakui secara internasional. Melalui Indonesian Accreditation Board for Engineering Education (IABEE), PII telah menjadi anggota penuh Washington Accord sejak tahun 2021. Hal ini membuka peluang bagi insinyur Indonesia untuk memperoleh pengakuan global melalui skema ASEAN Engineer, APEC Engineer, dan International Professional Engineer.
“Melalui PII, insinyur Indonesia dapat memperoleh sertifikasi internasional yang setara dengan negara maju. Ini menjadi kunci agar lulusan teknik kita mampu bersaing di pasar global,” paparnya.
Selain sertifikasi, PII juga memiliki program Continuing Professional Development (CPD) yang mendorong insinyur terus memperbarui kompetensinya di bidang teknologi, digitalisasi, dan kewirausahaan. Pius menegaskan bahwa profesionalisme seorang insinyur tidak berhenti pada kelulusan, tetapi terus berkembang seiring perubahan zaman.
Baca Juga: Wujudkan Ketahanan Pangan, Dosen Umsida Dampingi SMKN 1 Jabon
Transisi Energi dan Hilirisasi Industri Jadi Peluang Insinyur Muda
Tema besar yang diangkat dalam yudisium ini juga menyoroti transisi energi dan hilirisasi industri sebagai dua fokus pembangunan nasional. Menurut Pius, pergeseran dari energi fosil menuju energi terbarukan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi generasi muda teknik untuk berkontribusi.
“Transisi energi menuju net zero emission tahun 2060 adalah tantangan nyata. Insinyur muda harus terlibat dalam riset, pengembangan energi terbarukan, dan teknologi hijau,” ungkapnya.
Ia mencontohkan berbagai proyek strategis seperti PLTA Upper Cisokan, PLTS Terapung Cirata, serta pengembangan Green Industrial Park Tanah Kuning di Kalimantan Utara yang menargetkan penyerapan 60 ribu tenaga kerja. Kawasan industri tersebut akan mengintegrasikan pembangkit listrik ramah lingkungan dengan industri baterai kendaraan listrik dan aluminium smelter.
“Dengan hilirisasi, Indonesia tidak lagi menjual bahan mentah, tetapi mampu memproduksi barang jadi bernilai tinggi. Di sinilah peran insinyur muda untuk mewujudkannya,” jelasnya.
Menutup materinya, Ir Pius berpesan agar lulusan Fakultas Sains dan Teknologi Umsida tidak hanya siap bekerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja. Menurutnya, semangat teknopreneurship harus tumbuh sejak dini agar para sarjana teknik mampu membangun usaha berbasis inovasi dan teknologi lokal.
“Indonesia membutuhkan lebih banyak insinyur yang mandiri, berdaya saing, dan beretika. Jadilah generasi insinyur yang tidak hanya pintar, tapi juga peduli terhadap lingkungan dan masyarakat,” tutupnya.
Penulis: Annifa Umma’yah Bassiroh

















